Jawaban terhadap hal ini tidak mudah dan tidak
mungkin singkat. Banyak aspek terkait di dalamnya.
Dari sisi teologi, beragam pertanyaan yang tak terpisahkan
dimunculkan. Apakah Hukum Taurat masih mengikat orang-orang Kristen?
Bukankah karya penebusan Kristus menjadi akhir dari Taurat? Apakah ada
petunjuk tentang persepuluhan di dalam Perjanjian Baru?
Dari sisi hermeneutis (ilmu penafsiran Alkitab), jumlah pertanyaan
yang ada juga tidak kalah banyak. Sebenarnya ada berapa macam
persepuluhan yang diajarkan dalam Alkitab? Untuk siapakah persepuluhan
itu? Jika persepuluhan dahulu dibawa ke bait Allah, apakah padanan untuk
sekarang ini hanyalah gereja? Jika para imam adalah para hamba Tuhan
sepenuh waktu, lalu apa padanan bagi orang-orang Lewi yang melayani di
bait Allah?
Dari sisi praktis, pertanyaan yang diajukan lebih subyektif. Apakah
persepuluhan tetap harus diberikan dalam kasus orang tertentu yang
sangat miskin? Bagaimana jika seandainya suatu gereja tidak
bertanggung-jawab dalam hal pengaturan dan penyaluran persepuluhan?
Apakah persepuluhan itu dari penghasilan kasar (omset) atau keuntungan
bersih (profit)?
Tentu saja kita masih bisa memperpanjang pertanyaan-pertanyaan yang
mungkin muncul di benak banyak orang Kristen. Paling tidak, apa yang
dipaparkan di atas sudah cukup mewakili. Intinya, isu tentang
persepuluhan merupakan persoalan teologis, hermeneutis, dan praktis yang
kompleks dan sukar dijawab dalam tulisan yang pendek. Walaupun
demikian, tanpa bermaksud terlalu menyederhanakan persoalan yang ada,
saya ingin memberikan beberapa penjelasan umum yang sederhana untuk
tiap-tiap aspek. Beberapa detil dari uraian saya mungkin masih bisa
diperdebatkan, namun paling tidak hal itu cukup sebagai sebuah pondasi
untuk mendiskusikan persoalan tentang persepuluhan.
Sisi teologi
Apakah Hukum Taurat masih berlaku bagi orang-orang Kristen?
Pertanyaan ini muncul karena ada beberapa perintah di PL yang secara
eksplisit memang tidak berlaku lagi, misalnya peraturan tentang makanan
halal dan haram (Mrk 7:19). Ayat lain juga menyatakan bahwa Hukum Taurat
berlaku sampai zaman Yohanes Pembaptis (16:16). Paulus pun mengatakan
bahwa kita tidak lagi berada di bawah Hukum Taurat (Rom 6:14-15; Gal
5:18). Di sisi lain, Yesus menegaskan bahwa selama langit dan bumi belum
lenyap, tidak ada satu bagian terkecil dari Hukum Taurat yang
dibatalkan (Mat 5:18). Para rasul pun beberapa kali memberikan nasihat
atau ajaran yang didasarkan pada Hukum Taurat (Ul 25:4//1 Kor 9:9).
Salah satu hal yang turut menambah kesulitan adalah arti kata “Hukum Taurat” (
nomos)
dalam PB yang beragam. Kata ini bisa merujuk pada Pentateukh (Kejadian –
Ulangan), Dasa Titah (Kel 20; Ul 5), seluruh PL, atau era keselamatan
yang lama. Jadi, kita perlu mengetahui makna mana yang dimaksud oleh
seorang penulis di suatu konteks.
Persoalan lain lagi adalah aspek tertentu dari Hukum Taurat yang
sedang dibicarakan. Pada waktu Yesus mengatakan bahwa Hukum Taurat
berlaku sampai pada zaman Yohanes, apakah Ia memaksudkan semua aspek
dalam Taurat sudah batal seiring dengan tampilnya Yohanes? Tentu saja
tidak. Yesus pun masih memegang beberapa perintah dalam Taurat, misalnya
ibadah di Hari Sabat atau perayaan di bait Allah.
Solusi tradisional untuk mejawab kerancuan di atas adalah dengan
membagi perintah-perintah dalam Hukum Taurat menjadi tiga macam:
seremonial (berkaitan dengan ibadah), sipil (berkaitan dengan hal-hal
detil yang kultural), dan moral (berkaitan dengan etika). Kelompok
pertama sudah tidak berlaku lagi karena digenapi dalam penebusan
Kristus. Kelompok kedua juga tidak mengikat karena konteks modern
berbeda dengan kultur Israel dahulu. Hanya hukum moral yang dianggap
masih berlaku.
Pembagian semacam ini tampaknya sudah mulai harus ditinggalkan.
Alkitab tidak pernah memberikan dasar untuk pembagian semacam itu.
Lagipula, banyak perintah bisa dikategorikan ke lebih dari satu jenis
kelompok hukum. Misalnya, perintah tentang Sabat. Dari sisi ibadah,
perintah ini tergolong seremonial yang seharusnya tidak berlaku lagi,
namun hampir semua orang Kristen masih menaatinya, walaupun digantikan
oleh konsep Hari Tuhan (Minggu). Sabat juga mengandung unsur moral,
yaitu memberi istirahat pada hamba-hamba. Contoh lain adalah peraturan
tentang panen. Bangsa Israel dilarang mengambil hasil panen yang jatuh
di tanah. Itu diperuntukkan bagi orang-orang miskin. Perintah ini jelas
masuk hukum sipil, tetapi juga moral.
Saya sendiri meyakini bahwa semua perintah PL masih berlaku sampai
kapan pun. Kesinambungan ini hanya pada taraf esensi, bukan ekspresi.
Bentuk konkrit suatu perintah bisa berubah-ubah sesuai dengan situasi
zaman. Esensi yang diajarkan bersifat kekal dan universal. Pendekatan
ini lebih konsisten dibandingkan alternatif yang lain.
Pandangan ini terutama didasarkan pada sikap Yesus terhadap Hukum
Taurat di Matius 5:18-48. Dalam bagian ini Ia tidak membatalkan atau
mengganti perintah-perintah PL. Ia hanya memperjelas esensi dari tiap
perintah. Contoh: larangan terhadap perzinahan secara fisik ditarik
sampai pada akarnya, yaitu perzinahan dalam hati (Mat 5:27-28).
Dalam kaitan dengan persepuluhan, kita perlu memahami bahwa esensi
dari perintah ini adalah ucapan syukur. Sebagai tanda terima kasih
kepada Melkisedek, Abraham memberikan sepersepuluh dari penghasilannya
(Kej 14:19-20). Begitu pula dengan Yakub yang berjanji untuk
mengembalikan sepersepuluh dari tiap penghasilannya sebagai tanda syukur
untuk pemeliharaan Allah (Kej 28:22).
Esensi lain dari persepuluhan adalah keberlangsungan ibadah dan
tunjangan hidup bagi mereka yang membutuhkan (Ul 14:22-29). Persepuluhan
dibawa ke tempat ibadah (Ul 14:23-25; Mal 3:10). Para imam dan Lewi
berhak atas persembahan itu karena mereka tidak memiliki bagian milik
pusaka (Ul 14:27). Mereka tidak bisa bekerja, sehingga memerlukan
bantuan material dari orang-orang Israel. Selain para imam dan Lewi,
penerima persepuluhan adalah orang-orang yang berkekurangan. Mereka
hanya memiliki sumber penghasilan yang sangat terbatas, misalnya
orang-orang miskin, para janda, yatim-piatu, dan orang-orang asing (Ul
14:29).
Jadi, secara esensi persepuluhan masih berlaku. Apakah bentuk konkritnya juga masih sama?
Untuk menjawab pertanyaan di atas, saya akan mencoba melihat
persepuluhan dari kacamata PB. Rujukan tentang persepuluhan hanya muncul
sekali (Mat 23:23). Dalam teks ini Yesus mengecam ketaatan orang-orang
Farisi terhadap persepuluhan yang begitu kecil-kecil, tetapi mereka
mengabaikan keadilan bagi para janda. Dua hal ini jelas kontradiktif,
karena salah satu tujuan persepuluhan adalah untuk meringankan kesusahan
para janda. Yesus memerintahkan mereka untuk menjalankan persepuluhan,
sekaligus tetap memperhatikan keadilan bagi orang-orang yang
terpinggirkan.
Ia tidak mau memilih salah satu antara persepuluhan dan keadilan pada para janda. Keduanya bukan pilihan, melainkan kewajiban.
Sesudah kematian dan kebangkitan Tuhan Yesus, tidak ada rujukan
tentang persepuluhan dalam PB. Bahkan dalam beberapa konteks yang
seharusnya topik itu sangat relevan untuk dibicarakan, para rasul tidak
menyentuh hal tersebut. Sebagai contoh, diskusi tentang tunjangan hidup
untuk para rasul di 1 Korintus 9:1-18. Di bagian ini Paulus menerangkan
berbagai alasan mengapa para pekerja injil wajib dinafkahi oleh jemaat,
dari alasan logis sampai biblika. Ia tidak lupa mengutip Taurat Musa (1
Kor 9, 13-14). Menariknya, ia tidak membahas tentang persepuluhan
sedikit pun. Ia malah mengutip analogi dari larangan untuk memberangus
mulut lembu yang sedang mengirik (1 Kor 9; bdk. 1 Tim 5:17-18). Jika ia
tidak lupa untuk menggunakan makanan kudus untuk para imam sebagai
perbandingan dan argumen (1 Kor 13-14), mengapa ia tidak membicarakan
tentang persepuluhan? Bukankah hal itu akan menjadi argumen yang sangat
sesuai dan kuat?
Kita tidak tahu secara pasti mengapa Paulus tidak menggunakan
perintah persepuluhan sebagai argumen. Ia mungkin menganggap perintah
itu sudah sedemikian populer dan biasa, sehingga jemaat tidak perlu
diingatkan kembali. Ia hanya mengasumsikan jemaat sudah memahami hal
tersebut. Ia bahkan mungkin mengetahui bahwa tunjangan untuk kehidupan
dan perjalanan Petrus dan rasul-rasul lain (1 Kor 9:5) berasal dari
persembahan persepuluhan jemaat.
Kemungkinan kedua, Paulus merasa tidak perlu menyinggung tentang
persepuluhan. Konteks pembicaraan di teks ini adalah kritikan sebagian
jemaat Korintus terhadap Paulus (1 Kor 9:3). Kritikan ini berhubungan
dengan tunjangan hidup dan pelayanannya, sebagaimana diuraikan di
ayat-ayat selanjutnya. Karena inti persoalan hanya terfokus pada
posisinya sebagai pekerja injil, ia tidak mau menyinggung tentang
persepuluhan. Persembahan persepuluhan bukan hanya untuk para imam dan
orang-orang Lewi, tetapi juga untuk anak-anak yatim-piatu, para janda,
dan orang-orang asing. Jadi, dalam konteks seperti itu, persepuluhan
tidak terlalu relevan. Lembu yang mengirik dan makanan kudus bagi para
imam lebih spesifik menjawab isu yang sedang dilontarkan jemaat
Korintus.
Kemungkinan ketiga, Paulus lupa menyertakan perintah tentang
persepuluhan sebagai salah satu argumen. Alternatif ini sedikit lebih
sulit diterima daripada yang lain. Jika memang Roh Kudus mengilhamkan
dia untuk memberikan argumen bagi tunjangan hidup dan pelayanan para
hamba Tuhan, dan jika persepuluhan memang dimaksudkan untuk itu, mengapa
ia bisa melupakan poin penting ini? Lebih jauh, jika ia tidak lupa
memikirkan makanan kudus bagi para imam, mengapa ia gagal mengingat
tunjangan hidup para imam yang berasal dari persepuluhan bangsa Israel?
Kemungkinan terakhir, Paulus memang menafsirkan persepuluhan dengan
cara yang berbeda. Kematian dan kebangkitan Tuhan Yesus telah memberikan
makna baru yang lebih esensial. Secara tidak langsung ia mungkin sedang
memberi petunjuk bahwa praktek persepuluhan sudah tidak berlaku lagi
bagi orang-orang Kristen. Jika pelayanan korban para imam telah dimaknai
secara baru melalui korban Kristus di kayu salib (Ibr 9) dan melalui
persembahan hidup kita di hadapan Allah (Rm 12:1; 1 Pet 2:9), mungkinkah
segala hal lain yang berkaitan dengan keimaman pun juga ditafsirkan
dengan cara yang baru? Kita sulit memastikan hal ini. Tidak ada petunjuk
yang eksplisit dalam PB.
Di antara empat kemungkinan di atas, tidak ada satu pun yang
konklusif. Saya lebih memilih untuk mendekati persoalan ini dari
perspektif yang lebih luas. Sebagaimana sudah dijelaskan di awal, semua
perintah Allah secara esensi tetap berlangsung, walaupun ekspresinya
selalu berubah sesuai zaman dan situasi. Dalam kaitan dengan zaman
mesias di PB, inti dari persepuluhan sebaiknya tetap dilakukan, yaitu
pemberian sebagian dari penghasilan kita kepada Allah sebagai wujud
ucapan syukur kepada-Nya. Terlepas dari apa pun istilah yang akan
digunakan untuk praktek pengembalian ini, prinsipnya tetap sama. Jika
kita merasa diberkati oleh Allah, sudah seyogyanya kita mengucapkan
syukur kepada-Nya. Salah satunya adalah melalui persembahan materi.
Bagaimana tentang besar atau jumlah dari persembahan itu? Apakah
tetap sepersepuluh (10%) dari penghasilan kita? Tidak ada standar
konkrit tentang hal ini. Semua berpulang pada seberapa besar ucapan
syukur kita kepada Allah. Menurut hemat saya, kita seharusnya memberikan
lebih banyak daripada 10%. Kita hidup dalam masa keselamatan yang baru
yang jauh lebih mulia daripada zaman PL (Mat 11:11; 2 Kor 3:6-18). Tidak
ada alasan untuk tidak berani memberikan lebih dalam hal materi. Jika
orang-orang di PL rela dan taat memberikan 10%, lebih-lebih lagi kita
yang dianugerahi keselamatan besar yang tak terbeli oleh uang!
Pemberian yang lebih ini tidak hanya terbatas pada hal-hal material.
Cara kita hidup. Cara kita melayani. Cara kita berkorban tenaga, waktu,
dan pikiran. Kita sekarang hidup dan terlibat dalam pelayanan Roh (2 Kor
3:6, 8). Semua hal yang kita lakukan seharusnya dilakukan dengan
keyakinan, keberanian, kerelaan, dan pengorbanan yang jauh lebih besar.
Beberapa orang mencoba meniadakan persepuluhan dengan alasan bahwa
Alkitab memerintahkan kita untuk memberikan seluruh hidup kita, bukan
sepersepuluh dari penghasilan kita. Cara berlogika semacam ini sangat
rapuh. Jika kita merasa mampu memberikan “seluruh hidup kita”, mengapa
memberikan 10% dari penghasilan kita terasa berat? Adalah sebuah
kebohongan apabila kita mengaku sudah memberikan seluruh hidup kita
kepada Allah, tetapi kita secara sengaja tidak mau memberikan 10% dari
penghasilan kita kepada-Nya. Harta memang bukan satu-satunya ukuran.
Namun, harta pasti menjadi salah satu ukuran
Sisi biblika
Dari sisi teologis kita sudah melihat bahwa esensi persepuluhan tetap
mengikat orang-orang Kristen. Memberikan materi kepada Allah merupakan
salah satu ungkapan syukur kita yang penting. Kalau di perjanjian yang
lama umat Allah rela mempersembahkan sepersepuluh, kita yang hidup di
perjanjian yang baru seyogyanya berani memberikan lebih.
Dari sisi biblika kita menghadapi sebuah persoalan pelik yang
berhubungan dengan analogi dan jangkauan aplikasi. Perjanjian Lama
mengatur esensi maupun bentuk konkrit dari persepuluhan. Motif di balik
persembahan ini adalah ucapan syukur kepada Allah. Obyek dari
persembahan ini adalah para imam, para Lewi, dan orang-orang yang
berkekurangan (janda, yatim piatu, orang miskin, dan orang asing).
Tatkala Perjanjian Baru hanya memberi landasan bagi esensi
persepuluhan, kita mempertanyakan analogi dari obyek persembahan ini.
Untuk zaman sekarang, siapakah yang berhak menerima persembahan?
Pertanyaan ini menjadi lebih rumit karena sebagian hamba Tuhan (yang
biasanya dianalogikan sebagai para imam) masih memiliki sumber
penghasilan lain di luar pelayanan. Beberapa hamba Tuhan masih
menjalankah bisnis mereka. Apakah mereka tetap berhak atas persembahan
ini? Jika mereka berhak, bukankah para pemain musik dan pelayan lain di
gereja juga berhak karena mereka dapat dianalogikan sebagai orang-orang
Lewi? Dengan demikian pertanyaan ini sekaligus menyentuh persoalan
jangkauan aplikasi. Sejauh mana kita bisa menerapkan ajaran Alkitab
tentang obyek persembahan ini?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, kita perlu mengingat beberapa
poin di bawah ini. Pertama, persoalan tentang siapa yang berhak menerima
persembahan seharusnya tidak menghalangi kita untuk memberi. Memberi
adalah tugas kita. Mengelola pemberian itu adalah tugas orang lain.
Masing-masing bertanggungjawab kepada Allah, Sang Pemberi berkat.
Kedua, persembahan yang kita berikan tidak bisa diidentikkan dengan
persepuluhan. Apa pun nama dari persembahan yang kita berikan, kita
seharusnya memberikan lebih banyak daripada orang-orang di Perjanjian
Lama. Dengan konsep ini kita tidak boleh terlalu kaku mengelola
persembahan tersebut seturut dengan penggunaan persepuluhan. Sebagian
dari pemberian orang Kristen tetap ditujukan untuk hamba Tuhan dan
orang-orang lain yang membutuhkan.
Ketiga, para penerima persembahan secara esensial adalah mereka yang
tidak memiliki sumber penghasilan lain. Para imam dan orang-orang Lewi
tidak mempunyai tanah warisan untuk dijadikan ladang. Para janda,
anak-anak yatim, dan orang-orang asing seringkali sulit memperoleh
kesempatan mendapatkan penghasilan. Situasi kuno sangat membatasi
peluang mereka dalam hal mata pencaharian. Supaya mereka bisa tetap
hidup dan supaya para pelayan bait Allah tetap bisa melayani tanpa
gangguan, Allah memerintahkan bangsa Israel untuk mendukung mereka
secara materi.
Tiga poin di atas menjadi landasan bagi kita untuk menerapkan
persembahan. Hamba Tuhan yang masih mempunyai sumber penghasilan yang
memadai dari bisnis mereka seyogyanya belajar melepaskan hak mereka.
Mengambil seperlunya adalah tanda bijaksana. Masih banyak orang yang
lebih memerlukan materi itu. Kerajaan Allah secara umum maupun gereja
lokal secara khusus juga mungkin lebih membutuhkan persembahan itu. Pada
saat hamba Tuhan tersebut telah meninggalkan mata pencahariannya dan
fokus ke pelayanan, maka jemaat wajib memberikan perhatian yang lebih
kepada mereka, termasuk secara finansial. Jangan sampai pekerjaan Tuhan
menjadi terhalang hanya gara-gara keuangan.
Sehubungan dengan para pemain musik atau para pelayan yang lain, kita
perlu mengingat bahwa mereka kebanyakan memiliki pekerjaan sendiri.
Mereka bukan hamba Tuhan sepenuh waktu yang memberikan hidupnya bagi
pelayanan. Apresiasi secara finansial untuk mereka sama sekali tidak
boleh disangkut-pautkan dengan prinsip persepuluhan di Perjanjian Lama.
Para Lewi di zaman dahulu tidak bekerja, pemain musik sekarang rata-rata
memiliki pekerjaan sendiri. Di samping itu, jika para pelayan adalah
dari kalangan jemaat lokal sendiri, tidak memberikan apresiasi berupa
uang merupakan langkah tepat untuk mengajarkan komitmen dan kemurnian
pelayanan. Apresiasi bisa diwujudkan dalam bentuk lain yang lebih
penting, misalnya CD/DVD lagu-lagu, buku-buku nyanyian, dukungan dana
untuk pelatihan dan seminar musik, dsb. Apresiasi berupa dukungan moral
dan perhatian terhadap mereka juga bisa menjadi apresiasi yang
konstruktif. Pendeknya, mereka perlu diberi apresiasi yang bisa
memperkaya kualitas pelayanan mereka.
Pada akhirnya, yang paling penting adalah motivasi, baik yang memberi
maupun yang menerima. Semua seyogyanya menjadikan pelebaran kerajaan
Allah dan kemuliaan-Nya sebagai kepentingan tertinggi. Keengganan jemaat
dalam memberi pasti tidak sesuai dengan prinsip ini. Demikian pula
ketamakan para pelayan yang tidak berani melepaskan hak kita. Berilah
semampumu (jemaat), terimalah secukupnya (para pelayan).
Masalah-masalah teknis dalam pemberian persembahan (persepuluhan)
tidak kalah rumitnya dengan persoalan teologis dan biblikal. Berbagai
pertanyaan umum dilontarkan oleh orang-orang Kristen, baik dari mereka
yang mencari celah untuk tidak memberi maupun yang sungguh-sungguh ingin
mempersembahkan dengan cara yang benar. Sebelum mengupas pertanyaan
tersebut satu per satu, kita perlu mengingat –
sekali lagi –
bahwa yang terpenting adalah esensi dan motivasi dalam memberi. Selama
persembahan itu muncul dari hati yang bersyukur (bukan karena terpaksa)
dan diberikan untuk kemuliaan Allah (bukan kebanggaan diri), teknis
pemberian seharusnya tidak boleh menjadi sebuah persoalan yang terlalu
serius.
Pertanyaan pertama: Apakah persepuluhan harus diberikankepada gereja
atau boleh langsung kepada orang-orang yang berhak menerimanya? Dalam
Alkitab, persepuluhan kadangkala dibawa ke suatu tempat ibadah, misalnya
rumah TUHAN (Mal 3:8-10) atau tempat khusus yang ditunjukkan oleh Allah
(Ul 12:17-18; 14:23; 2 Taw 31:5-6, 11-12). Di samping itu, Alkitab juga
mencatat tentang persepuluhan pada tahun yang ketiga supaya diberikan
kepada dan dimakan oleh orang-orang Lewi dan semua orang lain yang
membutuhkan di tempat pemberi persepuluhan berdomisili (Ul 26:12).
Berdasarkan keterangan di atas, tempat memberikan persepuluhan
sebenarnya tidak selalu harus melalui gereja (sebagai analogi dari bait
Allah). Walaupun demikian, saya tetap merekomendasikan gereja sebagai
tempat pengumpulan persembahan. Praktek memberikan persembahan ke rumah
TUHAN sudah menjadi kebiasaan bagi orang-orang Israel. Lagipula,
pemberian persembahan di tempat sendiri hanya dilakukan tiap tiga tahun
sekali. Jadi, yang lebih umum adalah membawa persepuluhan ke rumah
TUHAN.
Di samping itu, para pemimpin gereja secara umum juga pasti lebih
memahami kondisi hamba-hamba Tuhan dan jemaat mereka. Mereka lebih tahu
bagaimana persembahan tersebut seharusnya dikelola dan didistribusikan.
Kita percaya bahwa para pemimpin adalah pilihan TUHAN (Rom 13:1),
termasuk para pemimpin rohani. Kewajiban kita adalah menunjukkan
ketaatan. Seandainya mereka ternyata tidak bisa dipercaya, maka hal itu
adalah urusan mereka dengan Allah. Tuhan pasti tidak akan tinggal diam.
Di sini iman kita kepada Tuhan benar-benar diuji.
Keuntungan lain dari memberikan persembahan melalui gereja adalah si
pemberi persembahan tidak perlu bersusah-payah memikirkan penyalurannya.
Semua diserahkan kepada pihak gereja. Dalam banyak kasus, memberikan
persembahan secara langsung bisa berpotensi membuat si pemberi menjadi
sombong. Si penerima pun bisa merasa berhutang kepada si pemberi (bukan
kepada Allah). Memberikan melalui gereja tanpa mencatumkan identitas
diri adalah pilihan terbaik, baik bagi pemberi maupun penerima.
Pertanyaan kedua: Apakah semua pelayan ibadah wajib menerima
persembahan? Pertanyaan ini biasanya diajukan dalam kaitan dengan
orang-orang Lewi di bait Allah. Mereka bukanlah para imam, tetapi
terlibat secara aktif dalam ibadah. Jika hamba-hamba Tuhan (dianalogikan
dengan para imam) berhak atas persembahan itu, bukankah para pemain
musik (dianalogikan dengan para Lewi) juga mempunyai hak yang sama?
Jika dicermati lebih jauh, analogi yang digunakan sebenarnya tidak
tepat. Persembahan yang diberikan tidak identik dengan persepuluhan.
Selain itu, alasan para imam dan para Lewi ditetapkan sebagai penerima
persepuluhan adalah karena mereka tidak memiliki tanah atau ladang untuk
diusahakan. Dengan kata lain, mereka memang tidak memiliki sumber
penghasilan lain. Seluruh hidup mereka dicurahkan pada ibadah di bait
Allah. Karena itu, yang penting di sini terutama bukanlah jabatan
seseorang, melainkan alokasi waktu untuk pelayanan. Semua orang yang
memberikan diri sepenuhnya untuk pelayanan – entah itu pelayan musik
atau pendeta – berhak menerima persembahan. Jika seorang pemain musik
atau hamba Tuhan masih memiliki mata pencaharian lain, maka persembahan
itu bukanlah hak yang bersifat wajib. Semua bergantung pada kebijakan
gereja masing-masing.
Dalam hal kebijakan lokal ini, hal terpenting yang perlu diperhatikan
adalah konsistensi. Pelayan ibadah bukan hanya pemain musik. Masih ada
petugas LCD, dokumentasi, penyambut jemaat, dsb. Jikalau hanya satu
bagian yang diberi persembahan, maka keputusan itu bisa menimbulkan
masalah pada bagian lain. Jikalau semua diberi, kesulitan lain akan
muncul: para pelayan bisa memiliki komitmen dan dedikasi pelayanan yang
rendah, karena dipengaruhi oleh materi yang akan mereka dapatkan. Jalan
keluar terbaik adalah memberikan persembahan hanya pada para pelayan
ibadah yang melayani secara penuh waktu atau yang bukan berasal dari
gereja setempat (misalnya, pemain musik dari luar). Bagi para pelayan
ibadah yang merupakan jemaat sendiri, para pemimpin gereja cukup
memberikan perhatian dan apresiasi kepada mereka. Bentuknya bisa
bervariasi: seragam, mengajak makan, barang-barang yang menunjang
pelayanan mereka (buku, CD, dsb), maupun hadiah Natal.
Pertanyaan ketiga: Apakah persepuluhan dihitung dari penghasilan
kotor (omset) atau bersih (profit)? Bagaimana jikalau suatu bisnis
terhitung rugi? Bagaimana jika pemasukan belum bisa menutup biaya
operasional? Kebingungan semacam ini sering dialami oleh sebagian orang
Kristen.
Sesuai dengan penjelasan dari sisi teologis dan biblikal di bagian
sebelumnya, kita dapat menilai pertanyaan-pertanyaan tersebut kurang
tepat sasaran. Yang ditekankan dalam pertanyaan-pertanyaan itu adalah
aspek legalistik yang detil, sedangkan Alkitab lebih menegaskan esensi
dari persepuluhan. Seberapa besarkah ucapan syukur kita kepada Allah?
Seberapa besarkah kerelaan kita untuk menurunkan taraf hidup kita supaya
kita bisa memberi lebih banyak bagi pekerjaan Tuhan di muka bumi?
Jadi, sekali lagi, semua berpulang pada hati kita masing-masing.
Orang yang benar-benar mengasihi Tuhan pasti akan melakukan upaya lebih
besar dan serius untuk memberikan yang lebih kepada Dia. Orang yang
tidak mengasihi Allah pasti akan mencari celah supaya ia mendapatkan
alasan untuk memberi lebih sedikit kepada Allah.
Saudara termasuk kategori yang mana?
Ayat-ayat Alkitab yang dapat direnungkan
berhubungan dengan Persepuluhan: (Mrk 7:19), (16:16), (Rom 6:14-15;
Gal 5:18), (Mat 5:18), (Ul 25:4//1 Kor 9:9), (Kel 20; Ul 5), (Matius
5:18-48), (Mat 5:27-28), (Kej 14:19-20), (Kej 28:22), (Ul 14:22-29),
(Ul 14:23-25; Mal 3:10), (Ul 14:27), (Ul 14:29), (Mat 23:23), (1
Korintus 9:1-18), (1 Kor 9, 13-14), (1 Kor 9; bdk. 1Tim 5:17-18), (1
Kor 13-14), (1 Kor 9:5), (1 Kor 9:3), (Ibr 9) (Rm 12:1; 1 Pet 2:9), (Mat
11:11; 2 Kor 3:6-18), (2 Kor 3:6, 8), (Mal 3:8-10), (Ul 12:17-18;
14:23; 2 Taw 31:5-6, 11-12), (Ul 26:12), (Rom
13:1).
Oleh : Pdt.Yakub Tri Handoko,M.Th